ISTRI GUGAT CERAI SUAMI YANG TAK KASIH NAFKAH
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Tanah Laut, 2024 |
Oleh : Shinta Qadriah
Perkawinan dan
perceraian diatur dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
(PP) 9/1975. Berikut beberapa hal yang berkaitan dengan perkawinan dan
perceraian Perceraian dapat dilakukan melalui talak
(perceraian yang diajukan suami) atau gugat (perceraian yang diajukan istri). Perceraian harus memiliki alasan yang
jelas, seperti salah satu pihak berbuat zina, meninggalkan pihak lain, mendapat
hukuman penjara, atau melakukan penganiayaan. Dalam kasus perceraian, Pengadilan Agama
berwenang memutuskan hak asuh anak, kunjungan, dan nafkah anak. Bahwa Tujuan Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yakni Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga seyogyanya perkawinan dilandasi dengan keharmonisan dan kebahagiaan. Gugat Cerai suami adalah langkah
mengakhiri hubungan perkawinan yang dapat dilakukan oleh pihak istri. Dalam
Peraturan di Indonesia, jika suami tidak memenuhi nafkah lahir maupun batin
selama 3 bulan lamanya, istri dapat mengajukan gugatan cerai dan talak 1 akan
jatuh. Suami yang tidak menafkahi istri dan terbukti menelantarkan keluarganya
dapat diproses secara pidana.
Bicara soal perceraian, penting untuk diketahui bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri Dari sini kemudian
lahir pertanyaan, apakah ketidakmemberian suami terhadap nafkah istri dapat
dijadikan alasan bagi istri untuk menuntut cerai? Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm telah
menyimpulkan bahwa Al-Quran maupun As-Sunah telah menyatakan bahwa tanggung
jawab suami kepada istri adalah mencukupi kebutuhannya. Termasuk di dalamnya
tentunya adalah nafkah. Konsekuensinya adalah bahwa suami tidak hanya
diperbolehkan menikmati istrinya tetapi melalaikan apa yang menjadi haknya.
Karena itu jika suami tidak memberikan apa yang menjadi hak istrinya, maka
istri boleh memilih di antara dua opsi yaitu tetap melanjutkan rumah tangganya
atau berpisah dengan suami. A. Kapan Istri Bisa Gugat Cerai Suami? Perceraian merupakan peristiwa
yang tidak diinginkan semua orang. Namun, berdasarkan KHI, ada sejumlah alasan
yang dapat menjadi alasan perceraian, salah satunya jika di antara suami dan
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga , adapun sejumlah alasan lainnya yaitu
: 1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya. 3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain. 5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 6.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga. 7.
Suami melanggar taklik talak. 8.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. Lama waktu
tidak dinafkahi menurut Pengadilan Agama Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan
gugatan cerai dengan alasan suami tidak memberi nafkah kepada istri “apabila suami tidak memberikan nafkah selama
12 bulan”. B. Jika Suami Tidak Mampu
Menafkahi Apa
hukumnya jika suami tidak memberi nafkah lahir? Dapat di asumsikan nafkah lahir
yang menjadi alasan gugat cerai suami adalah nafkah secara finansial. Jika
suami melalaikan kewajiban memberi nafkah sebagaimana diterangkan sebelumnya,
istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut nafkah yang
layak. Maka, mengenai pemberian nafkah
yang layak, sebenarnya sudah tersedia upaya hukumnya, yaitu gugatan untuk
menuntut nafkah, dan tidak serta merta harus menempuh langkah perceraian.
Langkah ini dapat ditempuh dalam proses mediasi di pengadilan sebelum putusan
perceraian dilakukan. Meskipun dalam alasan
perceraian yang kami jelaskan di awal artikel ini ketidakmampuan memberi nafkah
bukan merupakan salah satu alasan perceraian, namun dalam praktiknya, tidak
adanya nafkah lahir/finansial kepada istri dapat membuat hubungan suami istri
tidak harmonis dan terjadi pertengkaran antara keduanya. Hal ini kemudian dapat
dijadikan alasan perceraian. C. Kewajiban Suami Memberikan
Nafkah yang Layak Selain sejumlah
alasan yang diterangkan, penting pula diketahui bahwa suami memiliki kewajiban
untuk memberikan istrinya nafkah yang layak dalam hal ini sangatlah luas
maknanya. Suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. Salah satu kewajiban suami adalah melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. Selain itu,
kewajiban ini juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) KHI yang menerangkan sesuai
dengan penghasilannya suami menanggung: 1.
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri 2.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak 3.
Biaya pendidikan bagi anak. Nyatanya, suatu perkawinan
menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian
melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Dengan kata
lain, jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk istri, maka ia dapat
dikatakan telah melakukan wanprestasi. D. Jika Istri Menggugat Cerai
Apakah Dapat Harta Gono-gini? Harta gono-gini adalah harta
bersama yang diperoleh selama masa perkawinan, baik atas nama suami maupun
istri. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa, yaitu "gono" yang
berarti suami dan "gini" yang berarti istri. Harta gono-gini menjadi milik bersama suami dan istri, tanpa memandang
siapa yang menghasilkan atau membeli aset-aset tersebut. Pembagian harta
gono-gini sering menjadi sumber perselisihan dalam proses perceraian. Menjawab pertanyaan terkait
harta gono-gini, harta gana-gini atau yang umumnya dikenal sebagai harta
gono-gini diatur dalam Pasal 97 KHI. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bab VII tentang harta benda dalam perkawinan
pasal 35. Pasal tersebut
menerangkan bahwa janda atau duda cerai, masing-masing berhak seperdua
(setengah) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian
perkawinan. Jadi, sepanjang tidak ada harta
bersama yang ditentukan dalam sebuah perjanjian perkawinan, istri yang
menggugat cerai suami tetap berhak atas separuh atau setengah harta bersama. Dasar Hukum Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”) [2] Pasal 129 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |