KASUS PEMILU DI INDONESIA PADA PERIODE 2004-2024
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Tanah Laut, 2024 |
oleh:
Gusti Lulu Muthya Nadira
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar
utama dalam demokrasi, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih
wakil-wakilnya dan menentukan arah kebijakan negara. Sejak pemilu pertama kali
diadakan secara demokratis pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan
Konstituante, pemilu telah menjadi tonggak penting dalam dinamika politik
Indonesia. Perubahan dalam sistem politik, seperti Dekrit Presiden tahun 1959
dan pemilu 2019 yang menggabungkan pemilihan presiden dan wakil presiden dengan
pemilu legislatif, mencerminkan evolusi pemilu di Indonesia. Selain itu,
pentingnya pemilu dalam hukum tata negara juga terlihat dalam penyelenggaraan
pilkada menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang memastikan pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Diskusi tentang pemilu dari
perspektif hukum tata negara dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya partisipasi politik dan memperkuat fondasi demokrasi. Dalam sistem
demokrasi, pemilu menjadi pilar utama yang memberikan suara kepada rakyat untuk
memilih wakil-wakilnya dan mempengaruhi kebijakan negara secara langsung. Dasar hukum
pemilu di Indonesia menegaskan kedaulatan rakyat dengan mengacu pada
Konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Pasal 22E-22H UUD 1945 secara tegas mengatur tentang pemilu, yang
mencakup hak untuk memilih dan dipilih serta penyelenggaraan pemilu yang jujur,
adil, dan langsung. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum menjadi payung hukum yang mengatur pelaksanaan
pemilu di Indonesia. Undang-undang ini memberikan ketentuan-ketentuan terkait
penetapan calon, pelaksanaan kampanye, dan proses pemungutan suara. Di
dalamnya, terdapat rincian mengenai kriteria calon, batasan usia, syarat
kewarganegaraan, dan ketentuan lainnya yang harus dipenuhi. Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dilaksanakan setiap lima tahun sekali, dengan dasar hukum yang kuat dalam
konstitusi negara. Peran
hukum tata negara dalam menjamin pemilu yang demokratis sangat penting dalam
sistem pemerintahan republik Indonesia. Sebagai kerangka hukum yang mengatur
berjalannya sistem pemerintahan, hukum tata negara memiliki peran krusial dalam
mengatur proses pelaksanaan pemilihan umum. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum menegaskan bahwa pemilihan umum adalah instrumen kedaulatan
rakyat untuk memilih para wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam
hal ini, hukum tata negara memastikan bahwa pemilu dilakukan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, hukum tata negara juga mengatur berbagai
aspek penting terkait pemilu, seperti regulasi kampanye pemilu untuk memastikan
integritas proses dan kepastian hukum, serta pembentukan tim seleksi yang
terdiri dari berbagai unsur untuk memastikan objektivitas dan kualitas bakal
calon. Penyelenggaraan pemilu juga diatur secara ketat untuk memastikan
kebebasan dan periodisitasnya. Dalam
perspektif hukum tata negara, peran KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu
(Badan Pengawas Pemilu) sangatlah penting dalam mengawasi dan mengelola proses
pemilihan umum di Indonesia. Kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang
jelas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. KPU bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
pemilihan umum secara jujur, adil, dan transparan. Mereka mengawasi dan
mengelola berbagai tahapan pemilu, termasuk penyelesaian sengketa pemilu dan
penerbitan hasil pemilihan umum yang telah disahkan. Fungsi-fungsi ini mencakup
pengawasan dan penyelesaian sengketa sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Sementara itu, Bawaslu memiliki peran serupa dalam
mengawasi tahapan pemilihan umum dan menyelesaikan sengketa pemilu. Mereka juga
bertugas untuk meneruskan laporan pelanggaran pemilu kepada instansi lain yang
berwenang. Fungsi Bawaslu juga melibatkan pengawasan dan penyelesaian sengketa
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta pelaporan pelanggaran
pemilu kepada instansi yang berwenang.
Secara
keseluruhan, peran KPU dan Bawaslu di dalam sistem demokrasi Indonesia adalah
untuk memastikan bahwa proses pemilihan umum berjalan dengan jujur, adil, dan
transparan. Keduanya bekerja secara independen dan memiliki peran yang
strategis dalam menjaga integritas dan legitimasi proses demokrasi.
Pemilihan umum telah
dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan
sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilu adalah pengejewantahan
sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk
dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang
menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam
parlemen, akan tetapi ada pula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum
untuk memilih para pejabat tinggi negara. Umumnya yang berperan dalam pemilu
dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang
menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan itu.
Makna
pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis
adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan
dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat
dilakukan secara damai dan beradab. Fenomena pergantian kekuasaan ini
mempunyai daya tarik dan pesona luar biasa. Siapapun akan amat mudah tergoda
untuk tidak hanya berkuasa, tetapi akan mempertahankan kekuasaan yang
dimilikinya.
Selain
mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan daya rusak
kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis, ras,
ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi merebutkan
kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etika; nilai-nilai dalam
ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakan kekuasaan. Daya rusak
kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium ilmu politik, power
tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absoluteny. Pemilu dan
pilkada tahun 2024 mendatang bukanlah ajang perebutan kekuasaan semata
tapi diharapkan dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk menjamin
transfer of power dan power competition dapat berjalan secara damai dan
beradab. Untuk itu, pemilu 2024 harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan
etika yang dapat memberi jaminan agar pemilu tidak saja dapat berlangsung
secara jujur dan adil, tetapi juga dapat menghasilkan wakil-wakil yang
kredibel, akuntabel, dan kapabel serta sanggup menerima kepercayaan dan
kehormatan dari rakyat, dalam mengelola kekuasaan yang dipercayakan kepada
mereka.
Pemilu
dan pilkada serentak 2024 diharapkan dapat menjadi agenda pelembagaan proses
politik yang demokratis, sehingga diperlukan kesungguhan, terutama dari
anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang
oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subjektif masing-masing.
Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh,oleh karena
itu, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu
dilakukan agar kerangka hukum yang merupakan aturan permainan benar-benar
menjadi sarana menghasilkan pemilu yang demokratis.
Berdasarkan
kondisi di atas sebenranya ada 5 problematika dan tantangan pelaksanaan pemilu
dan pilkada serentak tahun 2024 yaitu, pertama, pengaturan tahapan
dan jadwal proses pemilu akan sangat menentukan keberhasilan dan kelancaran
pelaksanaan pemilu. Agenda yang sangat berhimpitan antara proses pilpres dengan
pemilu legislatif dan DPD tentu membutuhkan kecermatan alokasi waktu untuk
menggabungkan dua proses tersebut. Hal ini perlu di pertimbangkan agar proses
pilkada yang berhimpitan dengan pemilu dapat berjalan selaras dan seimbang.
Kedua, strategi pembagian
logistik yang berkaitan dengan masa kampanye yakni 75 hari. Waktu kampanye yang
hanya 75 hari ini tentu membutuhkan pencermatan KPU agar distribusi alat peraga
dan jadwal kampanye dapat terlaksana dengan adil bagi semua peserta pemilu.
Belum lagi kalau ada sengketa calon yang akan memengaruhi jadwal produksi
logistik sampai distribusinya.
Ketiga, penataan Daerah Pemilihan (Dapil)
DPRD Kabupaten/Kota yang tentu perlu kajian dengan mempertimbangkan basis data
penduduk dari pemerintah yang selalu berubah secara dinamis.
Keempat, koordinasi yang sinergis
dengan pemerintah menjadi tantangan juga karena KPU akan menggunakan data
pemerintah termasuk kerjasama antar lembaga dan instansi agar setiap tahapan
pemilu dan pilkada yang beririsan dapat berjalam dengan lancar. Kelima,
manajemen resiko dan protokol kesehatan dalam melaksanakan pemilu dan
pilkada serentak juga menjadi bagian penting harus dipersiapkan mengingat waktu
pencoblosan sampai penghitungan suara di TPS akan memakan waktu yang cukup lama
padahal kemampuan dan daya tahan masing-masing petugas KPPS belum tentu
sama sehingga faktor kelelahan akan berpotensi menimbulkan kesalahan
dalam proses penghitungan suara.
Pelanggaran dalam kasus pemilu di
Indonesia dari tahun 2004 hingga 2024 menjadi catatan yang harus dipahami
secara mendalam oleh masyarakat. Seiring perjalanan waktu, terdapat
kecenderungan pelanggaran yang terulang, menunjukkan kurangnya efektivitas
penegakan hukum dan kesadaran akan integritas pemilu. Dari praktik politik uang hingga manipulasi data
pemilih, berbagai kasus pemilu memberikan pengajaran penting bagi publik untuk
mewaspadai potensi pelanggaran dalam proses pemilihan berikutnya. Selama periode
25 April hingga 12 Mei 2014, menghimpun data dari Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) diterima 157 pengaduan terkait dugaan pelanggaran
kode etik penyelenggaraan pemilu,
termasuk penggelembungan suara, pengurangan dan penambahan suara antar caleg,
serta praktik politik uang. Kasus
pemilu di Indonesia 2004-2024 menyoroti tantangan besar dalam menjaga
integritas dan keadilan dalam proses demokrasi. Pola pelanggaran yang berulang
menimbulkan kekhawatiran akan kesehatan demokrasi dan perlunya tindakan yang
tegas dari lembaga terkait. Melalui pengetahuan akan kasus pemilu,
masyarakat dapat lebih waspada terhadap potensi pelanggaran yang mungkin
terjadi di tahun 2024. Partisipasi aktif dalam pengawasan dan pelaporan kasus
pelanggaran pemilu menjadi kunci untuk menciptakan pemilihan yang bersih dan
adil. Jika demikian, pemilu di Indonesia dapat menjadi cerminan yang lebih baik
dari kehendak rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi yang kokoh. Republik Indonesia merupakan negara yang
menerapkan demokrasi konstitusional dimana kedaulatan berada di tangan rakyat,
namun dilaksanakan sesuai supremasi hukum. Demokrasi dan supremasi hukum saling
berdampingan dan tidak mendahului satu sama lain. Konsep tersebut dilandasi
berlakunya Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945). Konsep pemilihan umum wakil rakyat secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana mandat
Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemilu yang
demikian baru bisa terwujud bila pemilih memberi suaranya sesuai informasi yang
memadai dan benar. Sebagaimana diketahui, pemilu serentak dan pemilihan kepala
daerah (pilkada/pemilihan) selanjutnya akan dilaksanakan pada tahun 2024. Di
mana dalam satu tahun, masyarakat akan menggunakan hak pilihnya dengan begitu
banyak calon pejabat publik. Dalam pemilu sendiri akan terdapat pasangan calon
presiden dan wakilnya; 575 anggota DPR, 2.207 anggota DPRD Provinsi; 17.610
anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan 136 anggota DPD. Sedangkan dalam pilkada akan
terdapat 33 gubernur, 415 bupati, dan 93 walikota yang dipilih. Pemilu 2024
tetap menggunakan UU Pemilu yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu 2019,
sehingga tidak menutup kemungkinan akan menghadapi tantangan, kerumitan yang
sama dengan yang dihadapi dalam Pemilu 2019. Sebagaimana dikemukakan di atas
bahwa model pemilu serentak yang diterapkan pada Pemilu 2019, juga akan berlaku
untuk Pemilu 2024. Hanya saja, jdih.kpu.go.id/sulut untuk Pemilu 2024, juga
berdampingan dengan Pilkada/Pemilihan Serentak Tahun 2024. Adapun model
pemilihan umum serentak yang diatur pada UU Pemilu dilatarbelakangi oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014
yang menyatakan bahwa pelaksanaan pilpres dan pemilihan anggota lembaga
perwakilan yang tidak serentak tidak sejalan dengan prinsip konstitusi yang
menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga
negara untuk memilih secara cerdas. Selaras dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang,
dan tiga kali perubahannya (UU Pilkada) masih tetap berlaku dalam Pemilihan
Tahun 2024. Pada Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada disebutkan bahwa “Pemungutan
suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Artinya,
akan terjadi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada di tahun 2024 mendatang,
dimana sementara berjalan tahapan pemilu, di suatu titik tahapan pemilu, akan
dimulai juga tahapan pilkada. Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024
merupakan pesta demokrasi terbesar yang akan menentukan perjalanan bangsa
Indonesia dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu
harus mempersiapkan secara baik dan matang. Jadwal dan tahapan Pemilu 2024
telah ditetapkan dan hari pemungutan suara jatuh pada 14 Februari 2024.
Sedangkan untuk Pilkada pada 27 November 2024. Permasalahan-permasalahan di atas dapat
diantisipasi dengan adanya regulasi yang memadai agar tercipta pemilu yang
rasional, manusiawi dan manajemen pemilu yang lebih baik untuk menjamin
kualitas pemilu yang langsung, umum ,bebas, rahasia, jujur dan adil. Selain itu
juga dapat menghindarkan penyelenggara dari beban kerja yang berlebihan
sehingga terhindar dari hal-hal yang berakibat buruk bagi kesehatan bahkan
mengancam keselamatan jiwa. Pelaksanaan tahapan pemilu pada tahun 2024
tidak akan berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan jika tidak dilakukan
rekonstruksi (penataan ulang) dan harmonisasi regulasi. Dengan tidak berubahnya
UU Pemilu dan UU Pilkada, maka harapan pengaturan regulasi terhadap teknis
setiap tahapan pemilu, kini ada pada Peraturan KPU (PKPU). Baik UU Pemilu
maupun UU Pilkada memberikan kewenangan kepada KPU untuk membentuk PKPU sebagai
pelaksanaan undang-undang. Kewenangan tersebut menjadi peluang bagi KPU untuk
mengatur sekaligus mengantisipasi persoalan-persoalan pada penyelenggaraan
pemilu dan pemilihan sebelumnya. Meskipun demikian, berdasarkan prinsip
hierarki norma hukum, tentu saja normanorma dalam PKPU tidak boleh bertentangan
dengan perangkat regulasi di atasnya, dalam hal ini UU Pemilu dan UU Pilkada
serta undang-undang terkait lainnya. PKPU yang akan disusun dan diundangkan
haruslah memerhatikan kerangka waktu dan pembahasannya juga harus dilakukan
dengan matang. Maksudnya, penetapan PKPU harus dilakukan jauh hari sebelum
dimulainya tahapan, agar supaya terdapat masa waktu bagi penyelenggara untuk
memahami substansi pengaturan jdih.kpu.go.id/sulut dalam norma-norma dalam
PKPU. Internalisasi dan Bimbingan Teknis (Bimtek) harus detail agar supaya persepsi penyelenggara benar-benar paripurna untuk menghindari kesalahan dan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas. Di samping itu, harus terdapat waktu yang cukup untuk melakukan penyuluhan dan sosialisasi PKPU kepada pemilih dan peserta pemilu serta para pemangku kepentingan. Sosialisasi dan penyuluhan yang sangat terbatas, akan menyebabkan pemahaman dari berbagai pemangku kepentingan menjadi tidak sama dan berpotensi akan banyak terjadi sengketa dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |