LEGAL REASONING DALAM PUTUSAN PENGADILAN
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | Bagian Hukum Setda Kabupaten Tanah Laut |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Pelaihari, 2018 |
Oleh : Rizka Noor Hashela, SH
Di dalam masyarakat terdapat banyak permasalahan sosial. Dari sekian banyak masalah-masalah sosial itu kita harus mampu menemukan atau menyeleksi masalah hukumnya, untuk kemudian dirumuskan dan dipecahkan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyeleksi masalah hukum dari masalah-masalah sosial, yang sering tumpang tindih dengan masalah hukum dan sulit untuk dicari batasnya, seperti misalnya masalah politik, masalah kesusilaan, masalah agama dan sebagainya. Di sinilah pentingnya kemampuan untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan masalah hukum (legal problem identification). Hakim merupakan personifikasi lembaga peradilan, dalam membuat keputusan suatu perkara selain dituntut memiliki kemampuan intelektual, juga memiliki moral dan integritas yang tinggi sehingga mencerminkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus didasarkan pada berbagai pertimbangan yang dapat diterima semua pihak dan tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang ada, yang disebut dengan Legal reasoning. Legal reasoning diartikan sebagai pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang Hakim memutuskan perkara/kasus hukum. Legal reasoning merupakan bagian dari putusan pengadilan dalam memutuskan suatu perkara. Legal reasoning oleh seorang Hakim dapat berdasarkan aspek filosofis, yuridis, sosiologis atau teologis yang mencerminkan asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak serta dapat menggunakan beberapa metode penafsiran hukum. Hakim dalam merumuskan dan menyusun serta memutuskan suatu kasus dengan pertimbangan hukum atau Legal reasoning harus cermat, sistematik dan dengan bahasa Indonesia yang benar dan baik. Pertimbangan disusun dengan cermat artinya pertimbangan hukum tersebut harus lengkap berisi fakta peristiwa, fakta hukum, perumusan fakta hukum penerapan norma hukum baik dalam hukum positif, hukum kebiasaan, yurisprudensi serta teori-teori hukum dan lain-lain, mendasarkan pada aspek dan metode penafsiran hukum yang sesuai dalam menyusun argumentasi (alasan) atau dasar hukum dalam putusan Hakim tersebut. Setelah Hakim meneliti dan menelaah suatu peristiwa atau kejadian, berarti Hakim tersebut mempunyai “solving legal problems” dan ia wajib mencari solusinya atau jawabannya. Hal ini karena dalam kehidupan di masyarakat terdapat masalah-masalah kehidupan yang sama. Tetapi Hakim sebagai seorang yang mempunyai kompetensi memberikan jawabannya/putusannya harus dapat menemukan hukumnya. Oleh karena itu Hakim sebelumnya harus mampu menyeleksi masalahnya dan kemudian merumuskan hukumnya. Setelah menemukan hukum dari peristiwa/ kejadian itu seorang Hakim harus melakukan pemecahan hukum (legal problems solving). Namun, banyak ditemui Hakim yang sama, ternyata ada perbedaan dalam putusan. Meski Jaksa dari Kejaksaan Agung yang memperkarakan sudah mendakwanya berlapis, misalnya terkait dugaan korupsi, dugaan gratifikasi dan pencucian uang. Pada hakikatnya Indonesia menganut sistem hukum yang diantaranya adalah Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law). Dimana Hakim di Indonesia menganut asas “The Binding Force of Precedent” (Asas Preseden). Suatu asas yang mengharuskan Hakim untuk mengikuti putusan Hakim lain dalam perkara yang sejenis atau dalam kasus yang sama atau istilah lainnya adalah asas Similia Similibus (dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula). Terkait putusan-putusan pengadilan, teori Stare Decisis Et Queita Nonmovere mengungkapkan bahwa putusan pengadilan saat ini untuk kasus yang sama, harus memutuskan sama seperti yang pernah diputus di masa lalu. Apabila Hakim akan menyimpang dari putusan Hakim sebelumnya terhadap kasus yang sama tersebut, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyebutkan alasan yang jelas dan logis (Legal Reasoning). Tetapi dalam penerapannya yurisprudensi di Indonesia berbeda dengan yurisprudensi sistem hukum Anglo Saxon (Common Law) pada umumnya, karena Indonesia menganut aliran rechtsvinding, disamping memiliki keterikatan kepada undang-undang seorang Hakim juga memiliki kebebasan untuk menemukan hukum sendiri (rechtsvinding). Bahwa Hakim Indonesia harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut. Hakim tidak hanya merdeka secara institusional namun hakim juga merdeka secara personal, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan secara merdeka dalam menyelenggarakan peradilan yang adil. Sebagaimana disebutkan juga dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, Hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi Hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani. Seperti halnya banyak perkara yang sama dengan putusan berbeda, salah satunya perkara narkoba di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang baru saja terjadi. Dimana Hakim memutus Moh. Wildan hanya 1 Tahun Penjara, sedangkan Taureq A.M divonis dengan hukuman 1 Tahun 6 Bulan Penjara. Padahal narkoba tersebut dibeli oleh Moh. Wildan. Terkait putusan yang berbeda itu, Hakim sudah mempertimbangkan matang-matang, tetapi tidak memberikan alasan yang jelas (Legal Reasoning) kepada keluarga dan media sehingga menimbulkan kritik dan pertanyaan. Jadi, Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus senantiasa membekali dirinya dengan ilmu hukum yang luas. Hal ini ditekankan oleh Soedikno Mertokusumo bahwa “pekerjaan Hakim kecuali bersifat praktis rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan hukum sebagai dasar dari putusannya”. Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum (Legal Reasoning) dalam putusan Hakim yang secara teoritis mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kiranya para Hakim perlu lebih mendalami Sistem Hukum Eropa kontinental yang secara teori lebih dominan dianut di Indonesia. Hakim diikat oleh undang- undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang. Hakim harus berpikir dari ketentuan umum untuk diterapkan pada kasus in-concreto (aturan khusus) yang sedang diadili. Hakim pada Sistem Hukum Eropa kontinental boleh saja mengikatkan diri pada asas preseden, tetapi pertimbangan hukum (Legal Reasoning) harus jadi rujukan (reference) terhadap amar putusan. Setiap putusan harus berdasarkan pada pertimbangan hukum (Legal Reasoning) yang diperkuat oleh teori hukum terhadap fakta yang terungkap dalam sidang perkara yang sama agar tidak menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di masyarakat. Dalam merumuskannya, Hakim juga harus melepaskan diri dari kepentingan politis, serta mengikatkan diri pada ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Tidak menafsirkan hukum formil dan prosesnya melebihi kebutuhan masyarakat. (RNH) |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |