LEMAHNYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH PINJAMAN ONLINE
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Pelaihari, 2020 |
LEMAHNYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH PINJAMAN ONLINE Oleh Rizka Noor Hasela, SH Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah mengalami penurunan
yang sangat signifikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada kuartal I-2020 sebesar 2,97% year-on-year
(yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 ini, lebih rendah dari
kuartal I-2019 yang 5,07% yoy. Penurunan pertumbuhan ekonomi ini, disebabkan oleh
turunnya sejumlah ekspor Indonesia, salah satunya ke China dan Amerika Serikat,
dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Hal ini merupakan dampak dari pandemi
wabah virus corona yang membuat sejumlah negara melakukan lockdown sehingga
perdagangan ekspor impor terdampak luas. Penurunan pertumbuhan
ekonomi ini juga berdampak kepada jumlah populasi, tingkat inflasi dan biaya
hidup yang semakin tinggi di Indonesia. Dimana hal ini juga menyebabkan
maraknya Pinjaman Online untuk memenuhi
kebutuhan sosial. Perkembangan
teknologi yang tidak terbatas di era digital sekarang ini, semakin lengkap dengan
hadirnya
salah satu bentuk penerapan teknologi informasi di
bidang keuangan, yaitu aplikasi Pinjaman Online.
Pinjaman
Online merupakan fasilitas
pinjaman uang oleh penyedia jasa keuangan yang terintegrasi
dengan teknologi informasi, mulai dari proses pengajuan, persetujuan hingga
pencairan dana dilakukan secara online atau melalui konfirmasi SMS
dan/atau telepon. Pinjaman online hadir pertama kali di Indonesia pada akhir Tahun
2014 yang dipelopori oleh Perusahaan Fintech
(Financial Technology).
Kemudian pada tahun berikutnya Bank dan Lembaga
Keuangan pun ikut menawarkan berbagai produk pinjaman mudah dengan proses cepat
yang tentunya terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dasar
hukum Pinjaman Online diatur pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dengan adanya hal tersebut Pinjaman Online
menjadi salah satu produk finansial, yang paling diminati masyarakat Indonesia
saat ini karena memiliki proses pengajuan yang cepat, syarat mudah dan juga
praktis. Hal ini juga mendorong Bank, Fintech
dan Lembaga Keuangan lainnya untuk menawarkan Pinjaman Online
cepat cair untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat tak perlu
lagi mendatangi Bank dengan mengajukan permohonan secara langsung untuk
mendapatkan pinjaman, proses peminjaman uang cukup diakses melalui Smartphone, seperti Apple Store (IOS) atau Google Play Store (Android) maupun laptop
yang terkoneksi dengan internet. Banyak orang berpikir
bahwa Pinjaman Online
ini adalah solusi yang mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Namun ternyata
dibalik kenyamanan ini, tentu ada konsekuensi dan risiko yang akan diterima
oleh pelanggan jika mereka melanggar kewajiban mereka. Perkembangan industri fintech ini juga lekat dengan stigma
negatif dari masyakarat khususnya dalam cara penagihan. Permasalahan Pinjaman Online
atau Financial Technology Peer To
Peer Lending (Fintech
P2P) kian hari terus menjadi sorotan publik. Berbagai kasus pelanggaran
Perusahaan Fintech mulai bermunculan
di media massa. Bentuk pelanggaran oleh Perusahaan Fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai dari penagihan intimidatif
(Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE),
penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48
UU ITE), penipuan (Pasal 378 KUHP) hingga pelecehan
seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat
1 jo 45 Ayat 1 UU ITE) yang diduga terjadi dalam persoalan ini. Ragam
dugaan pelanggaran tersebut salah satunya bersumber dari hasil laporan
pengaduan masyarakat yang diterima oleh berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
sejak tahun lalu. Terakhir, permasalahan fintech
ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh diri akibat depresi
karena penagihan pinjaman tersebut. Sayangnya, penyelesaian hukum permasalahan
ini masih minim sehingga kasus-kasus serupa terus bermunculan. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 7 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib mengajukan
pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Berdasarkan kajian hukum perdata pada teknologi finansial bahwa perbuatan
hukum yang timbul antara debitur dengan kreditur didasari dengan adanya perjanjian.
Dalam layanan aplikasi Pinjaman Online, banyak orang
telah mengeluhkan permasalahan mengenai penyebarluasan data pribadi yang
dilakukan oleh pihak penyelenggara Pinjaman Online tanpa
pemberitahuan dan tanpa izin dari pemiliknya. Hasil studi menunjukan bahwa
perlindungan hukum dan sanksi bagi pelanggaran data pribadi telah diatur dalam Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun secara khusus mengenai
perlindungan hukum dan sanksi pelanggaran data pribadi dalam layanan Pinjaman Online telah
tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 26 bahwa pihak penyelenggara bertanggung jawab menjaga kerahasiaan,
keutuhan dan ketersediaan data pribadi pengguna serta dalam pemanfaatannya
harus memperoleh persetujuan dari pemilik data pribadi kecuali ditentukan lain
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi terhadap pelanggaran data
pribadi mengacu pada Pasal 47 ayat (1), yaitu sanksi administratif berupa
peringatan tertulis, denda, kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu,
pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin. Masyarakat awam hukum
tentunya merasa khawatir menghadapi permasalahan hukum tersebut. Di sisi lain,
perlindungan hukum bagi nasabah Pinjaman Online
merupakan aspek serius untuk ditangani oleh pihak berwajib. Perlindungan
Pengguna Layanan berdasarkan Pasal 29 POJK 77/2016, Penyelenggara wajib
menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu, transparansi,
perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta
penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau. Bagi Penyelenggara
atau Perusahaan Fintech dapat
dikenakan sanksi apabila melanggar ketentuan Pasal 43 dan Pasal 47 POJK 77/2016,
yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43: a.
melakukan kegiatan usaha selain
kegiatan usaha Penyelenggara yang diatur dalam Peraturan OJK ini; b.
bertindak sebagai Pemberi Pinjaman
atau Penerima Pinjaman; c.
memberikan jaminan dalam segala
bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; d.
menerbitkan surat utang; e.
memberikan rekomendasi kepada
Pengguna; f.
mempublikasikan informasi yang fiktif
dan/atau menyesatkan; g.
melakukan penawaran layanan kepada
Pengguna dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa
persetujuan Pengguna; dan h.
mengenakan biaya apapun kepada
Pengguna atas pengajuan pengaduan. Pasal 47: Atas pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan
OJK ini, OJK berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara
berupa: a.
peringatan tertulis; b.
denda, yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu; c.
pembatasan kegiatan usaha; dan d.
pencabutan izin.
Terkait hal tersebut,
permasalahan ini termasuk kategori perjanjian utang-piutang sehingga bukan
ranah pidana melainkan perdata. Untuk itu perlindungan hukum bagi nasabah Pinjaman Online
masih lemah dan konsumen masih banyak dirugikan, karena sanksi terhadap
penyelenggara atau Perusahaan Fintech masih
sebatas sanksi administratif. Terhadap nasabah yang ingin melakukan pengaduan
maka dapat disampaikan kepada lembaga terkait kerugian sebagai konsumen,
seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), atau Lembaga Bantuan Hukum
(LBH). |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |