MENYIKAPI INTEGRITAS PENYALAHGUNAAN HAK PILIH DALAM PEMILU
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Pelaihari, 2020 |
Oleh : Rizka
Noor Hashela, SH Pemilihan
Umum atau yang biasa disebut dengan Pemilu adalah merupakan proses memilih
seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu.
Jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari jabatan Presiden/Eksekutif,
Wakil Rakyat/Legislatif di berbagai tingkat pemerintahan. Dalam
setiap Pemilu semua Warga Negara Indonesia yang berada di dalam maupun di luar
Indonesia dihimbau untuk menggunakan hak pilihnya, baik untuk memilih calon
anggota Legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Warga Negara Indonesia yang dimaksud
adalah orang-orang/bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dalam setiap
pemilu sangat rawan akan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan kecurangan. Indikator
penyebab terjadinya hal tersebut tidak hanya berfokus dari penyelenggara,
melainkan juga perilaku dari competitor.
Salah satu pelanggaran yang sering kita temui adalah penyalahgunaan hak pilih. Mulai
dari adanya money politic hingga kehilangan
hak pilih yang semakin hari semakin menjadi. Sedikitnya terdapat lima modus
operandi yang menyebabkan hilang atau dihilangkannya hak pilih seseorang dan
dapat dikenakan sanksi pidana. Pertama,
penyelenggara pemilu di tingkat TPS yang tidak memberikan formulir C6 atau
undangan untuk menggunakan hak pilih kepada masyarakat dengan maksud tidak
netral atau karena tidak profesional kinerjanya, yang berakibat pada hilangnya
hak pilih seseorang. Kedua, pada kasus pemutakhiran data pemilih, dimana
masyarakat pemilik hak pilih yang tidak terdaftar di daftar pemilih sementara,
kemudian mengurus. Namun karena sistem pendataan pemilih yang seringkali tidak update maka namanya tetap tidak
tercantum dalam DPT dan hilang hak suaranya. Ketiga,
perusahaan atau pelaku usaha yang tidak meliburkan karyawannya dan tidak
memberikan karyawan kesempatan untuk memilih. Keempat, provokasi untuk golput,
baik pada dunia nyata maupun di media-media lain oleh oknum tertentu yang
memprovokasi masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya, juga dapat
dikenakan sanksi pidana. Tetapi, Pilihan untuk menjadi golput merupakan bagian
dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya yang dijamin oleh UUD RI
1945 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28. Kelima,
intimidasi karena tidak memercayai sistem pemilu dan politik Republik
Indonesia. Apabila kepercayaan publik terhadap integritas pemilu sudah pudar,
kondisi yang terjadi tentu saja kegaduhan politik, baik di level vertikal
maupun horizontal. Hal ini dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 182A
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dimana dalam pasal tersebut
menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang
akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara 24-72 bulan
dan denda Rp 24 juta - Rp 72 juta. Dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah diatur dengan
jelas berbagai ketentuan pidana terhadap pelaku pelanggaran dan/atau kecurangan
dalam penyelenggaran pemilu. Pengaturan mengenai hilangnya hak pilih seseorang
yang disebabkan penyelenggara pemilu telah diatur dalam Pasal 510 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan bahwa setiap orang
yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24
juta. Dan Pasal 531 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan menghalangi seseorang untuk memilih, membuat kegaduhan,
atau mencoba menggagalkan pemungutan suara dipidana paling lama 4 (empat) tahun
dan denda paling banyak Rp 48 juta. Dalam ketentuan
Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga
menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya
tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau
menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 36 juta. Dan Pasal 523 yang menyebutkan bahwa setiap pelaksana,
peserta dan/atau Tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye
Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung baik itu dalam keadaan masa
tenang maupun pada hari pemungutan suara maka dipidana penjara paling lama 4 (tahun)
tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta. Kecurangan
yang terjadi hanya bisa dihentikan oleh aktor-aktor politik yang memiliki
kemauan untuk memperbaiki kualitas pemilu. Sebaliknya, apabila aktor-aktor yang
terlibat dalam proses pemilu tidak menunjukkan kesediaan untuk menjunjung
tinggi penyelenggaraan pemilu yang berintegritas, maka "kekacauan"
sebelum, pada, dan sesudah pemilu sangat mungkin terjadi. Para aktor politik
yang terlibat dalam kompetisi pemilu harus menahan diri dari tindakan ceroboh
yang bisa memperburuk situasi. Atmosfer panas yang tersaji hanya akan melukai
prinsip fairplay apabila tidak ada yang
mendinginkan suasana. Kalau memang ada kecurangan, para aktor bisa menempuh
jalur hukum lewat pelaporan untuk kemudian diproses sesuai prosedur yang
mengaturnya, bukan malah merekayasa pelanggaran. Bermasalahnya
implementasi regulasi pemilu menunjukkan kapasitas lembaga negara yang tidak
maksimal dalam mengurusi jaminan hak pilih masyarakat. Terlepas dari salah dan
benar, semua isu pelanggaran yang beredar patut menjadi evaluasi bagi semua
pihak yang terlibat dalam pemilu. Pertama, bagi KPU isu pelanggaran ini bisa
dialihkan menjadi medium pembuktian profesionalitas penyelenggara pemilu.
Artinya, KPU bisa meng-counter isu
kecurangan ini lewat pembuktian kinerja, kalau perlu sekalian membuat laporan
penyelenggaraan ke hadapan publik. Dalam mengupayakan ini, KPU bisa menggandeng
lembaga lain terutama lembaga non-pemerintah yang peduli terhadap isu
pelanggaran demokrasi dan pemilu untuk bersedia memberi evaluasi dan masukan. Esensi
pemilu di negara demokrasi sebetulnya adalah mendorong dan melindungi
partisipasi seluruh lapisan elemen masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan
dalam menggunakan hak pilihnya. Maka dari itu, lembaga negara dan penyelenggara
pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk lebih pro-aktif dalam
mengidentifikasi dan memantau hambatan-hambatan masyarakat untuk menggunakan
hak pilih. Bagi pemilih, isu kecurangan hendaknya tidak diterima begitu saja.
Dalam hal ini, usaha melakukan pengecekan menjadi kewajiban utama untuk
dilakukan pemilih setiap mendapat informasi yang bertebaran di linimasa media
sosial. Tidak hanya
sebagai langkah menjaga kondusifitas pemilu, kedewasaan yang ditunjukkan
pemilih lewat kekritisannya tersebut merupakan esensi demokrasi yang terkandung
di balik proses penyelenggaraan pemilu. Maka dari itu setiap bentuk kecurangan serta
pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu harus diusut dan ditindak
tegas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepada
pemerintah, hendaknya melakukan percepatan terhadap pemenuhan dan perbaikan
administrasi kependudukan. Hal itu untuk menjamin hak politik warga negara.
Pemerintah juga harus menjamin rasa aman dan ketentraman pemilih pada saat
menggunakan hak suaranya. Penting pula bagi pemerintah untuk menjamin
netralitas aparatur sipil negara untuk tidak aktif melakukan tindakan yang
menguntungkan peserta pemilu tertentu. |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |