SANKSI ATAS PENGGUNDULAN KAWASAN HUTAN TANPA IZIN DAN TANPA PERTANGGUNGJAWABAN
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Tanah Laut, 2024 |
Oleh:
Gusti Lulu Muthya Nadira Masalah kehutanan semakin hari semakin
mengkhawatirkan. Hal ini sejalan dengan munculnya berbagai macam permasalahan
yang berkaitan dengan lingkungan. Mulai dari global
warming, efek rumah kaca, dan sebagainya. Faktanya, kondisi bumi dirasa
sudah tidak seimbang dan telah muncul berbagai fenomena alam akibat kerusakan
alam di berbagai belahan dunia. Salah satu aspek yang tidak bisa lepas
dari permasalahan lingkungan adalah hutan, karena hutan merupakan tempat hidup
berbagai fauna dan flora. Hutan juga dikatakan sebagai paru-paru dunia. Tanpa
hutan, mustahil keseimbangan alam akan tercapai Permasalahan di dalam hutan
cukup sering terjadi, salah satunya adalah pembalakan liar atau penebangan
hutan secara liar yang tentunya akan memicu berbagai masalah lainnya di masa
yang akan dating. Kegiatan pembalakan liar dipercaya terjadi
di beberapa tempat di dunia. Beberapa tempat ini seperti kawasan aliran sungai
Amazon, Rusia, Asia Tenggara, Afrika Tengah, dan beberapa negara Balkan. Di
kawasan sungai Amazon, Brazil tercatat sekitar 80% kegiatan penebangan
melanggar hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Khususnya untuk produk
kayu mahogany atau mahoni yang harganya mahal. Indonesia merupakan salah satu
negara yang tercatat sering terjadi penebangan hutan liar. Di tahun 1998,
terdapat indikasi sekitar 40% dari semua total penebangan hutan adalah
penebangan liar. Kegiatan ilegal ini menghasilkan kerugian ekonomi yang
fantastis, yaitu mencapai 365 juta dolar Amerika Serikat. Hingga saat ini,
permasalahan tentang penebangan liar di Indonesia belum juga usai. Seperti yang dijelaskan di atas, Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki masalah penebangan liar yang tidak
kunjung usai. Dari data Bank Dunia sejak tahun 1985 hingga 1997, Indonesia
telah kehilangan 1,5 juta hektar hutan per tahun. Penyebabnya adalah
meningkatnya kebutuhan akan kayu baik di pasar lokal maupun internasional,
serta dipengaruhi oleh lemahnya faktor penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Sehingga kegiatan penebangan liar ini terjadi dengan begitu mudahnya. Berdasarkan
hasil analisis dari GFW dan FWI,
luas hutan di Indonesia semakin mengalami penurunan, yaitu 40% dalam kurun
waktu 50 tahun dari total jumlah kawasan hutan se-Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kehutanan di
tahun 2006 lalu, ada lebih dari 59 juta hektar (dari total 120,35 juta hektar)
hutan di Indonesia yang sudah rusak dan tidak berfungsi lagi secara optimal. Nilai
tersebut diperkirakan setara dengan deforestasi 2,83 juta hektar per tahun.
Jika hal ini terus menerus terjadi, maka hutan di Indonesia diperkirakan akan
terus mengalami penurunan dan bisa jadi akan hilang beberapa tahun yang akan
datang. Berikut
ini beberapa contoh kasus penebangan hutan yang terindikasi merupakan
kasus illegal logging di Indonesia:
Kasus ini terindikasi sebagai penebangan
liar pada hutan seluas 70 hektar. Tujuannya adalah untuk perluasan wilayah
pertambangan, tepatnya di Kecamatan Sepang Simin. Luas area yang hilang kurang
lebih setara dengan 65 kali luas lapangan sepak bola. Hal ini menjadikan
kawasan hutan menjadi hilang (deforestasi)
dan seperti tanah terbuka.
Penebangan hutan liar selanjutnya yang
terindikasi adalah penebangan di Kecamatan Lunang, Pancung Soal, serta Basa
Ampek Balai Tapan, Sumbar seluas 58 hektar. Kawasan ini berdekatan dengan perkebunan
kelapa sawit. Dugaan sementara, penebangan ini dilakukan untuk memperluas area
perkebunan kelapa sawit.
Kasus yang satu ini diduga sebagai salah
satu bentuk pembalakan hutan secara liar yang terjadi di Nusa Tenggara Barat.
Luas hutan yang hilang adalah sekitar 14 hektar dan tujuannya adalah untuk
pembukaan lahan pertanian di kawasan hutan lindung dan produksi. Penebangan hutan
ini menyebabkan adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan untuk
pertanian atau cocok tanam. Kegiatan ini memang cukup marak terjadi di Bima dan
Dompu. Bahkan kegiatan inilah yang diduga menjadi salah satu pemicu banjir di
kawasan tersebut.
Penebangan hutan liar juga terindikasi
terjadi di Bengkulu dan Jambi seluas 14 hektar. Tujuannya adalah untuk
pembukaan lahan pertanian kawasan hutan produksi.
Untuk kasus selanjutnya yang terindikasi
adalah penebangan di Riau yaitu seluas 12 hektar. Penurunan 12 hektar ini
terjadi selama periode Desember 2017 hingga Maret 2018, yaitu di Kecamatan
Rokan IV Koto dan Pendalian V Koto. Pada
dasarnya setiap negara pasti memiliki aturan dan hukum yang berkaitan dengan
lingkungan dan hutan, termasuk masalah penebangan liar. Indonesia yang
merupakan negara hukum juga memiliki aturan dan hukum yang berkaitan dengan
penebangan hutan. Berikut ini beberapa tinjauan hukum yang berkaitan dengan
hutan dan penebangan hutan.
Pada UU P3H
terdapat aturan yang lebih khusus mengenai penebangan hutan secara liar, dimana
terdapat detail hukuman-hukuman yang akan diberikan jika terbukti melakukan
penebangan hutan secara liar. Mulai dari ancaman hukuman penjara, hingga denda
yang mencapai miliaran rupiah. Penebangan hutan secara liar merupakan salah
satu perbuatan yang dilarang dalam pasal 17 ayat (1) huruf b UU P3H. Sebab
setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan penambangan dalam kawasan hutan
tanpa izin dari menteri. Larangan
ini menyangkut perorangan maupun korporasi. Sehingga bagi yang melanggar
peraturan akan ditindak pidana tanpa terkecuali sebagai berikut:
Dengan demikian jelas bahwa tindak pidana
kehutanan yang tidak terorganisir tidak bisa menggunakan undang-undang ini,
termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan/perladangan tradisional yang mengambil manfaat hutan untuk
keperluan hidup. Para petani tradisional yang tinggal di sekitar hutan atau
bahkan di dalam hutan yang memanfaatkan hutan untuk hidup memiliki
kekebalan (imunitas) atas undang-undang ini, dan tidak dapat dijadikan subjek
delik. Oleh karena itu, subjek hukum yang dituntut
dalam perkara ini yaitu Erdi dan Agusri Masnefi tidak tepat yang menyimpang
dari norma yang diatur dalam UU P3H karena Erdi dan Agustri Masnefi bukanlah
perseorangan yang melakukan kejahatan terorganisasi sebagaimana diatur dalam
pasal-pasal yang disebutkan di atas. Analisa ini sejalan dengan Putusan
Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns dan Putusan
Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw. Dalam Putusan Pengadilan Negeri
Watansopeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns Terdakwa yaitu Jamadi yang dituntut
melakukan penebangan pohon dalam Kawasan Hutan tanpa izin dan melanggar Pasal
12 huruf b Jo Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 18 Tahun 2013. Jamadi dalam
pembelaannya mengatakan bahwa hutan tersebut merupkan milik nenek moyangnya
yang turun temurun. Dalam pertimbangannya, majelis hakim tidak
sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa. Satu-satunya
pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti
secara syah dan meyakinkan adalah mengenai tidak terpenuhinya unsur “setiap
orang” sebagaimana didakwakan JPU kepada terdakwa. Menurut Majelis Hakim
pengertian “setiap orang” dalam UU No. 18 Tahun 2013 memiliki pengertian yang
bersifat khusus (specialis) yang berbeda dengan pengertiana “setiap
orang” pada ketentuan peraturan perundang-undangan pada umumnya. Pengertian
“setiap orang” dalam UU No. 18 Tahun 2013 harus merujuk pada Pasal 1 angka 21
yaitu orang perseorangan dan atau korporasi yang melakukan perbuatan
perusakan hutan secara “teroganisasi” di Wilayah Hukum Indonesia dana tau
berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia (PutusanPengadilan Negeri
Watansoppeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns). Majelis hakim memaknai kejahatan
terorganisasi dengan merujuk pada pengertian terorganisasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 6. Lalu Majelis Hakim mengkaitkan dengan terdakwa yang
dihadirkan dalam persidangan, dimana terdakwa dihadirkan secara pribadi dan
bukan atas nama suatu perkumpulan, perusahaan ataupun organisasi, dengan
demikian terdakwa dihadirkan secara orang perseorangan dan bukan korporasi.
Lalu Majelis juga mengkaitkan dengan cara-cara yang dilakukan oleh terdakwa
dalam menebang pohon di hutan, yaitu dilakukan seorang diri, tidak melibatkan
kelompok tertentu, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan bukan
untuk dikomersialisasikan, berdasarkan hal tersebut maka perbuatan terdakwa
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terorganisasi atau
terstruktur. Oleh karena itu, unsur secara teroganisasi tidak terpenuhi
(Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns). Sementara itu dalam Putusan Pengadilan
Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw, dimana seorang terdakwa yaitu
Satumin dituntut melanggar Pasal 92 ayat (1) huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf
b UU RI No. 18 Tahun 2013 yaitu “dengan sengaja melakukan kegiatan
perkebunan tanpa Izin Menteri di dalam kawasan hutan” dan menjatuhkan pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun dan 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp.
1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) subsidair 4 (empat) bulan
kurungan dipotong selama terdakwa ditahan. Satumin didakwa karena menanam pohon antara
lain durian, alpokat dan jengkol. Lalu menanam kopi dan jahe kawasan
pinggiran hutan lindung di Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi. Pendapatan
terdakwa dari menanam di hutan lebih kurang 430.000 yang digunakan untuk
keperluan hidup sehari-hari. Majelis hakim membebaskan terdakwa dari
semua dakwaan JPU dan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti secara
syah dan meyakinkan. Salah satu pertimbangan majelis hakim adalah terkait
dengan tidak terpenuhinya unsur “orang perorangan” dalam semua dakwaan JPU
(Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw). Dalam
pertimbangannya Majelis menemukan fakta bahwa tanaman yang ditanam di hutan
adalah dilakukan oleh terdakwa sendiri tanpa ada yang menyuruh dan merupakan
inisiatif terdakwa sendiri yang hasilnya digunakan untuk menambah pendapatan
terdakwa sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dengan
demikian perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak dilakukan secara
terstruktur dan terorganisasi (Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor
516/Pid.B/LH/2018/PN Byw). Dari uraian yang disebutkan di atas dan
jika dikaitkan dengan dua putusan pengadilan yang dijadikan rujukan
maka tafsir “setiap orang” yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Lubuk Basung dalam putusan No. 129/Pid.B/LH/2017/PN Lbb adalah keliru.
Majelis Hakim tidak menggunakan tafsir otentik dari unsur “setiap
orang” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 UU No. 18 Tahun 2013.
“Setiap orang” dalam UU No. 18 Tahun 2013 harus diartikan sebagai “korporasi”
dan/atau “kelompok kejahatan” terorganisasi yang terdiri dari dua orang atau
lebih, dilakukan secara terstruktur, sistematis, untuk komersialisasi dan tidak
bermukim di dalam atau di sekitar hutan. Jika salah satu unsur dari “setiap
orang” terpenuhi maka subjek delik yang didakwakan tidak tepat. Inilah
kekhususan (specialis) dariUU No. 18 Tahun 2013 ini dibandingkan dengan
undang-undang lainnya. Asas lex specialis derogatelegegeneralis harus
diterapkan dalam kasus ini, termasuk penentuan subjek hukum. Asas lex specialis derogat lege
generalisdiatur dalam dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa
jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan. Pasal ini digunakan sebagai filter dalam menentukan validitas
keberlakuan suatu peraturan ketika aturan tersebut diatur dalam dua
undang-undang yang berbeda dengan kadar aturan yang berbeda atau mungkin
kadar sanksi yang berbeda pula, maka dipilihlah aturan yang khusus sebagai aturan
yang valid. Dengan kata lain, aturan yang bersifat umum tidak
memiliki validitylagi untuk diterapkan. Menurut Hart, asas ini mengatur tentang
pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menentukan hukum mana yang
berlaku dan diterapkan. Dengan kata lain memberikan batasan atas tindak represi
oleh aparat negara atas dugaan adanya tindak pidana. Ancel menambahkan bahwa
dalam tahap aplikasi, asas lex specialis derogate lege generalismerupakan
suatu asas yang mengatur kewenangan, bukan terkait dengan perumusan delik. Dia
menambankan bahwa asas ini merupakan suatu games-rulesdalam
penerapan hukum. Asas ini penting bagi penegak hukum, dalam menerapkan aturan
hukum mana yang diberlakukan atas suatu peristiwa konkrit tertentu yaitu aturan
yang bersifat khusus. Tidak ada kriteria dalam membatasi
ketentuan pidana yang bersifat khusus (bijzondere strafbepaling).Namun
secara doktrin ada dua cara pandang dalam menentukan ketentuan khusus ini yaitu
cara pandang logis (logische beschouwing)dan cara pandang juridis (jurisdische
beschouwing). Menurut Enschede dalam tulisannya yang berjudul “lex
specialis derogat lege generali” (1963), pandangan secara logis mengatakan
bahwa suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana
tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari
suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai
suatu logische specialiteitatau sebagai suatu kekhususan secara
logis. Sementara itu dalam pandangan
yuridis dikatakannya suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat
semua unsurdari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai
suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat
diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan
ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat
khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteitatau systematische
specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis
(Alvi Syahrin, 2013). Majelis Hakim menyidangkan perkara Erdi
dan Agusri Masnefi menafsirkan “setiap orang” dengan menggunakan asas y
berlaku pada tindak pidana umum dana tidak mempertimbangkan asas-asas
yang berkembang pada tindak pidana khusus. Majelis juga mengenyampingkan
asas lex specialis deregot legi generalis. Selain itu, majelis juga
menggunakan doktrin-doktrin dari ilmuwan hukum pidana yang memperkembangkan
hukum pidana umum dan tidak mengggunakan referensi dari ilmuwan hukum pidana
yang telah mengembangkan doktrin hukum pidana khusus. Selain itu, majelis hakim
juga memberikan tafsir yang sempit atas Pasal 1 angka 21 UU No. 18 Tahun
2013, sehingga pasal ini tidak dilihat secara utuh. Majelis juga
mengenyampingkan situasi sosiologis dan filosofis atas lahirnya UU
No. 18 Tahun 2018.
Dengan demikian dapat dinyatakan bawah
unsur “setiap orang” tidak terbukti dalam perkara ini sehingga jika salah satu
unsur saja tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dalam seluruh dakwaan
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |