TOLAK BAYAR PAJAK, PIDANA BERTINDAK
Tipe Dokumen | : | Artikel |
Sumber | : | |
Bidang Hukum | : | Umum |
Tempat Terbit | : | Pelaihari, 2020 |
TOLAK BAYAR PAJAK, PIDANA BERTINDAK Oleh : Rizka
Noor Hashela, SH Pajak
merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan
meningkat sesuai dengan perkembangan kemampuan riil rakyat dan laju pembangunan
nasional. Dalam pemungutan pajak, negara harus mendapat izin terlebih dahulu
dari rakyat. Hal tersebut dimaksudkan agar negara tidak akan bertindak
sewenang-wenang ketika memungut sebagian kekayaan rakyat, walaupun itu
dipergunakan kembali untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, Pasal 23A
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur bahwa
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang. Berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan
bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dengan tegas disebutkan
pula bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Karena
pajak bersifat wajib dan memaksa, maka negara menetapkan sanksi bagi wajib
pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak dan/atau dengan sengaja menolak
membayar pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 telah dijelaskan wajib
pajak yang menolak untuk bayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau
sanksi pidana. Sanksi administrasi perpajakan
terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Sanksi pajak
berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban
pelaporan. Sanksi berupa pengenaan bunga ditujukan bagi wajib pajak yang
membayar pajaknya setelah jatuh tempo dan akan dikenakan denda sebesar 2% (dua
persen) per bulan terhitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Dan yang terakhir, sanksi kenaikan ditujukan kepada wajib pajak yang melakukan
pelanggaran tertentu, seperti tindak pemalsuan data dengan mengecilkan
jumlah pendapatan pada SPT setelah lewat 2 (dua) tahun sebelum terbit SKP. Sedangkan
sanksi pidana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyebutkan
bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara di pidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pemberian
sanksi terkait perpajakan ini bisa dalam bentuk tindakan tegas berupa
penyanderaan atau gijzeling. Tindakan
gijzeling merupakan langkah
terakhir dari tindakan hukum yang dapat dilakukan pemerintah kepada wajib pajak
nakal. Gijzeling
dilaksanakan apabila wajib pajak benar-benar sudah membandel. Tindakan gijzeling bukan satu-satunya
cara untuk membuat wajib pajak jera dan merupakan langkah antisipasi terakhir
yang merupakan upaya mencari efek jera (deterrence effect) agar para
penunggak pajak takut dan segera melunasi kewajiban pajaknya. Berdasarkan
aturan yang ada, negara berhak melakukan gijzeling
atau penyanderaan berupa penyitaan atas badan orang yang berutang pajak. Selain
itu, bisa juga melakukan suatu penyitaan, tetapi bukan langsung atas kekayaan,
melainkan secara tidak langsung, yaitu diri orang yang berutang pajak. Hal itu
diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang mengatur penagihan utang pajak kepada
wajib pajak melalui upaya penegakan hukum. Tujuan
dilakukannya gijzeling adalah mendorong
kesadaran, pemahaman dan penghayatan masyarakat bahwa pajak adalah sumber utama
pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta merupakan salah satu kewajiban
kenegaraan, sehingga dengan penagihan pajak melalui surat paksa tersebut setiap
anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban
perpajakannya. Penyanderaan
ini dapat dilakukan selama 6 (enam) bulan dan diperpanjang paling lama 6 (enam)
bulan. Berdasarkan data statistik Sekertariat Pengadilan Pajak Kemenkeu per
2020, total sengketa pajak tahun lalu ada sebanyak 10.166 kasus. Dengan total
sengketa pajak yang dikabulkan seluruhnya sejumlah 4.937 kasus. Sementara
jumlah sengketa pajak yang sebagian dikabulkan mencapai 1.903 kasus. Kebanyakan
merupakan wajib pajak yang memiliki utang pajak sedikitnya Rp 100 juta. Angka
di atas membuktikan bahwa pemerintah tidak main-main dalam menegakkan peraturan
perpajakan. Sampai
sekarang kesadaran masyarakat membayar pajak masih belum mencapai tingkat
sebagaimana yang diharapkan. Umumnya masyarakat masih sinis dan kurang percaya
terhadap keberadaan pajak karena masih merasa sama dengan upeti, memberatkan,
pembayarannya sering mengalami kesulitan, ketidakmengertian masyarakat apa dan
bagaimana pajak dan ribet menghitung dan melaporkannya. Namun masih ada upaya
yang dapat dilakukan sehingga masyarakat sadar sepenuhnya untuk membayar pajak
dan ini bukan sesuatu yang mustahil terjadi. Ketika masyarakat memiliki
kesadaran maka membayar pajak akan dilakukan secara sukarela bukan
keterpaksaan. Pajak,
disukai atau tidak merupakan elemen penting untuk jalannya suatu negara dan
pemerintahan. Terlepas dari berbagai pendapat yang menolak pajak, kewajiban
warga negara adalah membayar pajak, bila tidak membayarnya atau bahkan berusaha
menghindari pajak dengan cara yang tidak benar, maka terkena sanksi dan hukuman
baik denda maupun pidana. Peran
serta dari masyarakat dalam membayar pajak, mengawasi proses penerimaan pajak
dan pengalokasian anggaran yang sebagai besar diterima dari pajak sangat
diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan transparan. Sadar
pajak tidak hanya diartikan taat membayar pajak, namun diharapkan bisa paham
dan mengerti terkait pajak, sehingga dapat memberikan kontribusi baik kritik,
saran ataupun masukan untuk perbaikan penerimaan dan pengelolaan pajak demi
kemajuan negara ini.
Masyarakat
juga harus sadar berapa pajak yang telah dipungut di daerahnya dan berapa yang
dialokasikan kembali ke daerahnya untuk pembangunan dan operasional pemerintah
daerahnya. Orang bijak taat bayar pajak, lunasi pajaknya dan awasi
penggunaannya. |
||
File Lampiran | : | File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini |